Family, Me, Oneshoot, Sad

Cerpen : Sang Panutan [Tugas Bahasa Indonesia]

SANG PANUTAN

Karya : Nanda Hardienningrum (JungJeHwan)

 

Sinar mentari yang dengan perlahan namun pasti, menyusup masuk melewati celah kecil gorden di kamar bernuansa biru putih ini. Sayup-sayup terdengar kicauan burung yang mengusik tidur ku yang lelap ini. Dengan enggan aku membuka perlahan kedua kelopak mata ku. Menguap perlahan, dengan mangamati jarum pada jam yang bertengger manis di dinding kamar tidur ku ini. 05:30. Merenggangkan seluruh otot-otot tubuh ku yang terasa kaku setelah bangun tidur. Setelah itu, aku bergegas menuju kamar mandi dan melakukan kegiatan ku sehari-hari.

Setengah jam setelahnya, aku sudah duduk di ruang makan, bersiap untuk menghabiskan makan pagi ku bersama bersama adik dan ayah ku. Terlihat dari tempat ku duduk ini, ibu ku sedang menyiapkan bekal makan siang untuk adik ku yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar. Pagi ini, aku tak melihat batang hidung kakak perempuan ku. Oh ya, ini kan hari Kamis. Pantas saja dia bangun siang, kuliahnya saja baru di mulai pukul sepuluh nanti. Enaknya menjadi mahasiswa. Pikir ku.

Aku menghabiskan sarapan ku dengan segera. Setalah itu, aku sudah siap di depan rumah ku, menunggu adik dan ayah ku untuk bersama berangkat ke sekolah ku. Dari sana, aku melihat eyang kung ku sedang bekerja mengurusi kebun miliknya yang luas itu. Eyang kung ku enggan untuk menyuruh orang untuk mengerjakan kebunnya. Menurut yang ku dengar saat eyang kung ku bercakap-cakap dengan ayah ku, dia ingin mengisi masa tuanya dengan kegiatan yang bermanfaat. Eyang kung ku kan sudah tak bekerja lagi, alias sudah purna tugas dari kewajibannya sebagai guru. Hanya saja, eyang kung ku tetap aktif sebagai salah satu penanggung jawab yayasan sekolah tempatnya terakhir kali melakukan kegiatan belajar-mengajar.

“Selamat pagi, eyang.” Sapa ku.

“Pagi, Nanda. Mau berangkat sekolah?”

“Iya, eyang.” Jawab ku.

“Ingat ya, jangan nakal di sekolah dan belajarlah yang baik agar bisa mencapai cita-cita mu.” Pesan eyang kung ku yang hanya ku hadiahi anggukan mantap milik ku lengkap dengan senyuman. Setelah percakapan singkat ku dengan eyang ku, ayah ku sudah siap mengantarkan ku dan juga adik ku dengan mobilnya itu. Akupun berpamitan kepada ibu ku lalu masuk ke dalam mobil ku itu.

Akupun bergegas menuju ruang kelas ku sesampainya aku di sekolah ku ini. IV-A. Ah, itu dia ruang kelas ku. Akupun memasuki ruang kelas ku ini dan mata ku menelisik deretan meja kursi yang disediakan di ruang berukuran 7 x 9 meter ini, mencari tempat duduk yang pas. Akhirnya, ku dudukan tubuh ku dibangku di sebelah Salsa. Deretan kedua tepat dari pintu masuk. Dan baris ketiga dari papan tulis. Dia yang melihat kehadiran ku, hanya menyapa ku singkat. Kami berduapun tenggelam dalam pembicaraan yang seru sampai bel tanda masuk berdentang.

Aku serius mengikuti satu persatu pelajaran yang diajarkan hari ini. Hingga akhirnya bel istirahat keduapun berdentang, dan akupun langsung bergegas menuju  masjid sekolah ku untuk melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah. Maklum saja, SD ku ini kan SD islam, jadi semua siswa dan siswinya wajib melaksanakan sholat Dzuhur di sekolah karena kelas akan berakhir pada pukul 13:30.

Setelah sholat Dzuhur berjamaah itu, aku memakan makan siang yang disediakan oleh sekolah ku ini hingga bel masuk berdentang. Bisa ku rasakan suasana gaduh kelas ku, kerena belum semua siswa duduk dengan benar dibangku mereka masing-masing selain itu guru Bahasa Indonesia ku, yang mengisi jadwal saat itu, masih dalam perjalanan menuju ke kelas ku, ku rasa. Masih ada yang jalan ke sana. Masih ada yang keluar kelas. Masih ada yang memakan jajanan. Hingga akhirnya, kegiatan itu berhenti seketika Pak Tarman, guru Bahasa Indonesia ku, memasuki ruang kelas.

15 menit setelahnya, ada salah satu teman ku, Ninna, memberitahu guru ku yang sedang serius memberikan materinya. “Pak, ada tamu.” Serunya. Sementara itu Pak Tarman, lalu meletakkan spidolnya dan keluar dari ruang kelas untuk menemui tamu itu. Aku yang penasaran hanya bertanya ke Ninna siapa tamu itu dan hanya dihadiahi gelengan tak tahu.

Tak lama setelah itu, Pak Tarman masuk lagi ke kelas sambil membawa sebuah kertas yang tak ku ketahui isinya. “Nanda, kamu dijemput. Lekaslah berkemas.” Kata Pak Tarman kepada ku. Aku bingung. Aku dijemput untuk apa? Ku pikir, sejak pagi tadi tak ada rasan-rasan dari kedua orang tua ku untuk menjemput ku lebih awal dari jadwal sebenarnya. Biasanya juga begitu, kalau ada acara penting dan mengharuskan aku untuk pulang lebih dulu, aku sudah diberitahu sejak pagi tadi. Tapi ini? Ah, mungkin aja, mereka lupa memberitahu ku. Akupun melanjutkan acara berkemas ku. Setelah itu, aku berpamitan dengan guru yang sedang mengajar tersebut.

Aku melenggangkan kaki ku keluar kelas. Dan di sana, berdiri adik ku, Toni, yang masih lengkap berseragam sekolah seperti pagi tadi. Pandangan ku pun, beralih kepada siapa yang menjemput ku. Ku pikir, ayah ku lah yang menjemput ku seperti biasanya. Tapi ternyata, tetangga ku yang datang menjemput ku sekaligus adik ku ini. Kebingungan ku yang kedua. Ada apa ini sebenarnya? Tak biasanya ayah ku menyuruh tetangga ku untuk menjemput ku. Pasti ada yang tak beres ini.

Selama diperjalanan tak ada sepatah katapun yang keluar dari kami bertiga. Tentangga ku itu sibuk berkonsentrasi dengan jalanan yang kami lalui. Adik ku, sibuk dengan dunianya sendiri, mengamati jalanan yang sering dilalui kami ini. Sedangkan aku, aku termenung memikirkan keanehan yang ku alami hari ini. Tentang kenapa aku dijemput saat pelajaran berlangsung tanpa terlebih dahulu pemberitahuan dan juga kenapa tetangga ku lah yang harus repot-repot menjemput ku dan adik ku, bukan malah ayah ku. Semua kemungkinan pun ku pikirkan. Sampai-sampai aku berpikir sesuatu yang seharunya tak boleh ku pikirkan. Ataukah jangan-jangan ada sesuatu yang buruk menimpa keluarga ku? Menimpa ayah atau mungkin eyang kung ku? Tapi kenapa harus ayah atau eyang ku? Tapi, perasaan ku—perasaan ku mengarah akan sesuatu yang buruk yang menimpa salah satu panutan ku itu. Nanda, berhenti berpikir seperti ini. Semuanya baik-baik saja. Seru ku kepada diri ku sendiri.

Berulang kali aku berpikiran seperti itu. Dan berulang kali juga aku berusaha membuang jauh-jauh pemikiran ku yang bagi ku tak beralasan ini. Tapi, naluri ku terlalu kuat. Aku sudah berulang kali menebak dengan tepat apa yang akan menimpa ku atau juga keluarga ku. Seperti saat adik ku berumur lima tahun dan terjatuh dari sepedanya. Aku sudah memberitahu ibu ku bahwa adik ku itu jatuh dari sepeda. Tapi, ibu ku tak percaya dengan ku. Ibu ku pikir, aku hanya bermimpi. Tapi, tak lama kemudian, datang adik ku, dengan menuntun sepeda barunya. Dia menangis dan terlihat di siku tangan kanannya dan juga di lututnya, ada darah segar mengalir. Ibu ku pun langsung datang mengobati adik ku.

“Ibu sih, tak percaya pada ku.” Sungut ku kesal. Setelah mengobati luka adik ku, ibu ku mendekati ku dan berujar, “dari mana kau tahu, sayang?” Aku hanya menggeleng sambil memberitahunya apa yang ku rasakan. “Ibu, inikah yang disebut seorang naluri dari kakak untuk adiknya? Aku merasakan ini tadi. Aku merasakan akan ada hal buruk yang menimpa adik ku.” Kata ku polos. Saat itu, aku masih ingat betul, aku masih berusia 7 tahun. Yah, 3 tahun yang lalu.

Dan yang ku takut kan adalah, jika semua yang ku rasakan, semua yang ditebak oelh naluri ku itu benar. Tapi aku tak mau. Aku tak mau. Karena yang ditebak oleh naluri ku ini adalah sesuatu yang sangat tak ku harapkan terjadi saat ini. Kematian. Kenapa naluri ku, memberitahu ku hal yang sangat ku takutkan itu? Aku belum siap untuk kehilangan salah satu dari mereka saat ini. Ku hembuskan nafas ku dengan amat berat. Jangan lagi berpikir hal yang bodoh, Nanda. Kali ini, aku mencoba untuk berteriak ke dalam diri ku sendiri. Mencoba menghentikan khayalan liar dari naluri ku ini.

Selama di perjalanan, aku berusaha mengosongkan pikiran ku dari pada aku berpikiran tentang hal-hal yang aneh yang menjerumus tentang sesuatu yang ku takuti, hingga aku tak sadar, bahwa aku kini sudah sampai di depan pintu gerbang rumah ku. Setelah mengucapkan terima kasih kepada tetangga ku ini, aku langsung bergegas turun mengikuti langkah adik ku menuju pintu gerbang yang tertutup rapat itu. Bisa ku lihat saat aku menapakkan kaki ku ke luar mobil, banyak sekali mobil yan terpakir di sekitar rumah ku dan juga lapangan depan rumah ku yang berada di samping rumah eyang ku. Apa lagi ini? Kenapa banyak mobil? Apa ada acara? Dan kenapa gerbang ini terkunci? Seharusnya mereka tahu aku sudah berada di rumah saat seharusnya aku berada di sekolah. Dan lagi, ke mana gerangan mbak Endang selaku rewang yang membantu pekerjaan rumah ini? Ini aneh bahkan terlampau aneh.

“Kak, ada apa tho sebenarnya?” Tanya adik ku polos. Aku hanya menggeleng karena jujur aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Mungkin ia juga melihat apa yang aku lihat dan juga mungkin dia juga merasakan apa yang aku rasakan ini.

Saat aku hendak memanggil salah satu yang ada di rumah ku ini, tiba-tiba tetangga ku berkata kepada ku, “mbak Nanda, pintunya di kunci. Lewat rumah eyang saja.” Kata tetangga ku itu yang sedang berkumpul memandangi rumah eyang ku itu. Aku yang terlampau bingung, hanya dapat mengikuti saran tetangga samping rumah ku itu. Adik ku berjalan terlebih dahulu meninggalkan aku dibelakangnya. Saat aku melewati pertigaan jalan yang berada di depan rumah eyang ku, aku berpapasan dengan mobil pick up putih yang berhenti tepat saat aku lewat. Saat ku tengok ke arah mobil itu, aku mendapati sebuah karangan bunga. Dan aku berusaha mengabaikan apa yang aku lihat ini dan langsung berlari memasuki pelataran rumah eyang ku.

Lagi-lagi aku mendapatkan sesuatu yang mengejutkan ku. Rumah eyang ku dipasangi terpal dan juga sudah banyak kursi yang mulai ditata disebagian pelataran rumah. Aku memberanikan diri memasuki lebih dalam lagi. Entah kenapa, naluri ku tambah menguat melihat pelataran yang dipasang terpal ini dan juga melihat karangan bungan tadi. Akankah? Aku menggeleng kuat. Mengusir semua yang ku khawatirkan.

“Nanda, eyang kung mu meninggal.” Sayup-sayup aku mendengar salah satu teman ku yang terlihat di pelataran rumah joglo ini. Aku hanya melongo tak percaya. Mungkin saja aku salah dengar. Tapi, aku melihat ada jarit yang dibentangkan di pelataran dalam rumah ini. Dan dari sana keluar air yang mengalir. Di sekitar jarit itu, juga berdiri para tetangga ku. Di salah satu ujung jarit yang sedang dibentangkan itu, aku melihat kakak ku yang memandang sebuah objek dengan wajah tak percaya miliknya. Ku tengokkan juga wajah ku ke arah jarit yang dibentangkan itu, aku melihat ibu ku sesenggukan dengan tangisnya sampai-sampai seluruh wajah ibu ku memerah. Di samping ibu ku juga berdiri eyang ti ku dengan wajah tak percaya miliknya. Di sana juga terlihat ayah ku. Aku menggeleng kuat menyaksikan kejadian di depan ku ini. Dengan langkah berat, ku masuki rumah eyang ku ini. Di sana, aku disambut mbak Endang.

“Mbak Nanda, ganti baju dulu, nanti baru ke sini lagi.” Kata mbak Endang. Aku hanya menurut. Aku mengikuti langkah kaki mbak Endang menuju rumah ku. Saat aku melintas hendak menuju rumah ku, aku melihat kebun tempat eyang kung tadi masih sempat berkebun. Aku mengamatinya sebentar sebelum aku memasuki rumah ku dan berganti baju dengan pakaian rumah ku. Setelahnya, aku menuju rumah eyang ku lagi untuk kembali memastikan. Dan berulang kali aku mencubit pipi ku, berharap semua ini hanyalah sebuah kebohongan semata atau hanya sebuah mimpi buruk yang harus aku lewati di tidur lelap ku.

Aku sudah memasuki rumah eyang ti ku. Masih berdoa semoga semua ini, hanya halusinasi ku. Tapi, saat aku sampai di sana, aku masih melihat banyak orang berseliweran di area rumah ku. Akupun menuju pelataran rumah eyang ku, berusaha menyakinkan sekali lagi. Dan di sana, aku masih melihat jarit-jarit dibentangkan. Aku juga masih melihat banyak kerumunan orang disekitarnya. Aku ingin melihat, tapi aku tak punya kekuatan untuk melihat sebuah kenyataan. Aku takut, eyang kung ku benar-benar harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku hanya mengingat sekelebat bayangan esok tadi. Saat aku masih sempat berbincang dengan eyang kung ku. Eyang kung ku terlihat masih sehat dan juga bugar. Tak ada tanda apa-apa tadi pagi. Aku dan keluarga ku juga masih beraktivitas seperti biasa Tapi sekarang? Aku berhadapan dengan pemandian jenazah yang merupakan eyang kung ku.

Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat ini. Ini begitu membingungkan dan juga menyakitkan untuk ku. Apakah ini rasanya kehilangan salah satu anggota keluarga yang sangat dicintai dengan mendadak? Aku memang pernah kehilangan eyang kung saat aku masih berusia tiga tahun. Saat itu, eyang kung ku yang merupakan ayah dari ibu ku. Aku bahkan tak tahu dengan jelas apa yang terjadi saat itu. Yang ku tahu, eyang Bani, begitu aku memanggilnya, meninggal. Tapi, aku masih ingat di mana eyang Bani ku meninggal walau hanya ingata samar yang tersisa di memori ku. Saat itu, eyang Bani yang sudah sakit lama, di bawa ke Rumah Sakit Kustati di Solo. Dan di rumah sakit itu pulalah eyang ku menemuni ajalnya. Dan sekarang, tepat saat ini, aku bisa merasakan apa yang dulu tak bisa ku rasakan.

Aku melangkah menuju kebun tempat terakhir kali aku melihat eyang kung ku. “Tuhan, apakah ini nyata? Eyang, kau tak apa kan? Di semua hanya mimpikan?” Gumam ku lirih, masih setia memandangi kebun itu. Dengan perlahan tapi pasti, air mata ku mengalir. Untuk pertama kalinya aku menangis untuk sesuatu hal yang sangat-sangat memukul perasaan ku. Aku hanya dapat kembali mengela nafas panjang ku.

Kembali, aku memasuki rumah eyang kung ku. Di saat bersamaan, aku melihat sekitar enam orang menggotong jenazah eyang kung ku. Dan dibelakangnya, terlihat ibu ku yang masih menangis sesenggukan. Aku juga melihat kakak ku juga memasuki rumah joglo ini, lewat pintu utama yang sama dengan ibu. Terlihat, tetangga ku melipat jarit-jarit yang tadi menghalangi arah pandangan ku terhadap suatu objek. Aku hanya bisa menyaksikan hal itu dengan menangis dalam diam.

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku terlampau terkejut dengan kejadian mendadak ini sampai-sampai aku untuk bertindak pun aku harus berpikir dengan keras terlebih dahulu. Lagi, aku meninggalkan tempat ku berpijak ini. Menuju rumah ku. Masuk ke dalam rumah ku sebentar, lalu aku keluar lagi, memasuki rumah eyang ku. Tapi, di rumah eyang ku juga tak bisa bertahan lebih lama lagi, apa lagi dengan air mata yang masih dengan senangnya keluar dari kelopak mata ku. Aku keluar lagi. Kembali memandangi kebun itu untuk yang kesekian kalinya. Rasa tak percaya ku tak juga sirna. Aku masih sangat sulit untuk menerima ini. Dan untuk terakhir kali, aku masuk ke kamar mandi. Membasuh muka lusuh yang lengkap dengan genangan air mata ini. Setelah memastikan bahwa air mata itu tak akan keluar lagi, aku lekas menuju rumah eyang ku. Bertindak seolah-olah tak terjadi apa-apa. Bertindak seolah aku dalam keadaan baik.

Sore ini, hujan dengan lebatnya mengguyur bagian bumi yang kecil ini. Bahkan dalam seminggu terakhir ini, tak ada hujan sekalipun. Tapi, tepat hari ini, hujan mengguyur dengan derasnya. Bahkan di saat hati ku yang masih saja keruh dengan kejadian ini. Mungkinkah langit tahu apa yang sedang di rasakan keluarga ku ini? Rasa duka yang mendalam, kehilangan sang tetua sekaligus sang panutan. Eyang kung ku, orang yang sangat ku hormati bahkan seluruh keluarga ku menghormati beliau. Eyang kung ku adalah seorang yang hangat dan sangat mengayomi seluruh anggota keluarganya tanpa terkecuali. Eyang kung ku, seorang yang ramah dan mengormati seluruh kolega dan juga tetangga-tetangganya. Eyang kung ku, seorang yang bertanggung jawab atas apa yang dibebankan kepadanya. Eyang kung ku, seseorang yang tak akan pernah terganti di hati ku yang terdalam. Seseorang yang akan selalu menjadi panutan ku selain ayah ku.

Malam menjelang, tepat setelah adzan sholat Isya’ berkumandang, aku dan adik serta kakak ku, berada di luar rumah eyang ku. Di saat bersamaan, ada mobil yang berhenti di pertigaan depan rumah eyang ku. Dan setelah itu, aku berlari ke arah mobil itu, kerana aku yakin yang berada di dalam mobil itu pasti tante dan om ku yang merupakan adik ayah ku dan juga anak eyang kung ku, yang datang dari Purwokerto dan Cilacap.

“Eh, kak, om Hasan, Om Ma’mun, datang.” Seru ku, sambil berlari ke arah mobil itu. Kakak ku juga menyusul ku di belakang. Mereka kemudian turun dari mobil dengan wajah setengah tak percaya dan berjalan ke arah rumah eyang ku dengan aku mengikuti mereka di belakang.

Di pintu masuk dapur, ibu ku menyambut mereka. Ibu ku langsung memeluk tante Fitri dan langsung menangis. Tante Yuni, tante Fitri dan juga tante Wiwik menangis mendengar penuturan kakak iparnya tersebut. Aku berusaha tak terusik dengan tangisan ibu ku itu dan melanjutkan perbincangan ku dengan adik sepupu ku. Aku berusaha menulikan telinga ku. Karena hanya dengan cara itu, aku tak akan menangis di hadapan mereka saat ini.

Jumat 1 Mei 2009. Aku mencatat hari ini dengan sepenuh hati dan akan ku ingat sampai aku dewasa nanti. Dan juga kemarin, Kamis 30 April 2009. Karena dua hari ini, dua hari yang sangat menguras segala emosi ku. Hari ini, setelah seluruh anak dari eyang ku datang dari tempat asalnya masing-masing, rencana pemakaman eyang kung ku. Masih dengan ketidakpercayaan ku tentunya.

Jarum jam menunjuk angka satu. Tepat setelah sholat Jumat dilaksanakan. Cuaca yang kemarin hujan dengan lebatnya berubah drastis dengan matahari bersinar dengan sangat terik. Acara pemakaman eyang kung ku sudah dimulai. Dan di pelataran penuh dengan orang-orang yang berpakaian serba hitam yang menandakan rasa duka mereka. Bahkan sampai ada tenda yang di dirikan di jalan-jalan. Tapi, itu semua tak juga muat untuk para pelayat yang datang berbondong-bondong memberikan salam terakhir mereka untuk eyang kung ku.

Dan kini, aku berserta seluruh keluarga ku berkumpul di depan peti eyang kung kung. Untuk terakhir kalinya, kami melihat wajah eyang kung. Aku lagi-lagi berusaha menahan tangisan ku. Tapi mendengar seluruh keluarga ku menangis sedih, tangis ku pun pecah. Aku melihat eyang ti ku hanya berdiri di depan memandangi suaminya untuk terakhir kalinya. Beliaupun di bawa kembali duduk. Aku juga menyaksikan ibu, ayah, tante, om, serta kakak ku menangisi kepergian eyang kung. Saat aku melihat untuk terakhir kali, aku hanya menemukan wajah eyang kung ku yang terlihat seperti tertidur dengan lelapnya bahkan aku bisa melihat seulas senyum tipis milik beliau. Setelah itu, peti di tutup dan aku berjalan menuju dapur. Di sana, aku dan adik sepupu ku menunggu berbagai acara sambutan pemakaman ini.

“Sudah, mbak Nanda, eyang kung diikhlaskan ya. Biar dia senang di sana.” Aku bisa mendengar rewang ku yang berdiri di belakang ku mencoba untuk menghibur ku. Aku berusaha menahan tangisan ku lagi. Mengusap kedua permukaan pipi ku yang basah akan air mata.

Setelah acara doa untuk mendoakan eyang kung ku, aku bisa melihat peti eyang kung ku digotong menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Selamat jalan eyang. Kami menyayangi mu. Semoga kau tenang di sisi Tuhan. Terima kasih telah menjadi panutan untuk ku dan seluruh keluarga mu. Batin ku lemah saat melihat peti itu digotong keluar rumah ini.

Kini aku berjongkok di samping makam eyang kung ku bersama keluarga ku, lengkap dengan eyang ti, om, tante, dan adik sepupu ku. Kami semua berdoa di samping makam eyang kung ku ini. Ini sudah lima tahun, tapi bayangan akan hadirnya eyang kung masih saja membekas. Bahkan ini idul fitri ke lima tanpa eyang kung ku. Selalu saja begini tiap tahunnya, tanpa kehadirang eyang kung ku lagi. Bahkan mengingat kejadian lima tahun lalu, sangat menyakitkan untuk ku dan juga pastinya seluruh keluarga ku. Semuanya berlalu bagaikan air yang selalu mengalir dari hulu ke hilir.

Aku berdoa dalam diam di samping makamnya ini. Bahkan aku menyisipkan kabar ku bahwa aku baik-baik saja. Dan sekarang aku sudah beranjak menjadi lebih dewasa. Bahkan sekarang aku bukan lagi anak SD ingusan yang berusaha tegar menghadapi segala yang terjadi. Kini aku adalah anak SMA yang berusaha untuk lebih mengikhlaskan kepergian eyang kung ku. “Tuhan, aku tahu kau terlalu menyayangi eyang kung dan juga eyang Bani ku jadi kau mengambilnya terlebih dahulu. Tuhan, aku bersimpuh di sini, memohon dengan segala kerendahan hati yang ku miliki, tempatkanlah kedua eyang kung ku di sisiMu. Dan Tuhan, sampaikan pada mereka, aku begitu menyayangi mereka.” Ujar ku dalam doa di depan pusaran eyang kung ku ini. Suatu saat nanti, kita semua pasti akan menjadi satu lagi. Menjadi satu sebagai satu keluarga yang utuh. Di surga nanti.

-END-

Author Note : Cerita ini adalah tugas Bahasa Indonesia yang sebenarnya adalah tugas cerpen yang bertema pengalaman pribadi. Tapi ini ga tahu apakah ini benar-benar cerpen atau bukan T.T

Leave a comment